Apa hubungan antara hukum D-M dengan perdana menteri, Polwan, dan Brimob? Tulisan ini akan mengajak Anda menelusuri jawabannya.
Beberapa waktu lalu sempat mencuat istilah perdana menteri dalam pemberitaan di negara ini. Padahal, sistem pemerintahan yang kita anut saat ini tidak mengenal jabatan itu. Kecuali di masa lalu.
Sebenarnya, posisi ini bukan sesuatu yang asing dalam bidang
pemerintahan di belahan dunia yang lain. Kita mengenal beberapa negara yang menganut
sistem pemerintahan yang terdapat jabatan perdana menteri di dalamnya.
Tetangga dekat kita, Malaysia, termasuk salah satu penganut sistem pemerintahan seperti itu. Di belahan Eropa sana, Inggris juga menganut sistem serupa hingga saat ini.
Seperti kita ketahui, di monarki yang baru ditinggal wafat Ratu Elizabeth II itu, jabatan perdana menteri belum lama berganti. Kini, Elizabeth Truss tampil memegang jabatan Perdana Menteri Inggris menggantikan pemangku sebelumnya, Boris Johnson.
Silakan baca juga tulisan yang menghimpun bermacam-macam istilah kenaikan harga barang.
Baiklah, saya tidak akan berpanjang lebar mengoceh perihal perdana menteri dalam kaitan dengan pemerintahan. Biarlah para pakar ilmu tata negara yang mengulasnya.
Saya hanya hendak sedikit mengupas aturan yang kebetulan bersangkut-paut dengan sebutan perdana menteri. Bukan aturan dalam bidang hukum atau ketatanegaraan, melainkan bahasa.
Selanjutnya, Anda bakal menemukan beberapa cerita menarik yang tersaji dalam tulisan ini, yaitu:
1.
perdana
menteri yang tak taat asas;
2.
syarat menjadi Polwan tak harus perempuan;
3.
anomali yang menyelamatkan perdana menteri;
4.
hukum D-M telah “membidani” kelahiran Brimob Polri.
Beda dengan Kepala Negara, Perdana Menteri Tak Taat Asas
Kepala negara adalah “pribadi yang baik” karena mengikuti asas yang berlaku di sini. Asas itu bernama hukum D-M (diterangkan – menerangkan).
Kata kepala yang berada di depan, diterangkan oleh kata negara yang “berdiri” di belakangnya. Jadi, jelaslah, di sini hukum D-M telah ditegakkan.
Beda halnya dengan “sang pembangkang” bernama perdana menteri. Frasa ini enggan mengikuti aturan yang berlaku di negara ini.
Perdana yang menerangkan malah berada di depan menteri yang diterangkan. Kalau mau mengikuti aturan hukum D-M, mestinya kita memilih menteri perdana bukan perdana menteri.
Lantas, mengapa ada frasa tidak mengikuti aturan tetapi tidak ditertibkan? Apakah takut diserbu netizen atau gentar digeruduk demonstran?
Sabar, jangan gampang menuduh yang bukan-bukan.
Di mana-mana, aturan selalu memiliki perkeculian. Nah, kondisi demikian juga berlaku dalam “urusan perdana menteri” ini.
Mungkinkah Laki-Laki Menjadi Polwan?
Ketika mendengar istilah Polwan, apa yang terbayang dalam benak Anda?
Saya yakin tak seorang pun membayangkan seseorang yang berjakun atau berkumis tebal saat mendengar pertanyaan itu. Benak saya pun tak pernah memunculkan sosok demikian.
Padahal, lazim kita saksikan seorang polisi berjenis kelamin laki-laki mengurusi klien wanita. Bukankah kenyataan itu menunjukkan bahwa seharusnya banyak Polwan berjenis kelamin lelaki?
Silakan baca juga ulasan tentang istilah olahraga dan kemungkinan dampak buruknya dalam kehidupan manusia.
Nah, di sinilah letak “masalah”-nya. Di negara kita, Polwan bukanlah polisi yang mengurusi masalah wanita. Polwan yang selama ini kita kenal merupakan wanita yang berprofesi sebagai polisi.
Lho, kalau penjelasannya seperti itu, seharusnya disebut wanita polisi, dong? Frasa polisi wanita tidak seturut hukum D-M, bukan?
Sabar, ya.
“Pembiaran” terhadap sebutan polisi wanita yang tidak benar itu tak beda dengan penerimaan frasa perdana menteri yang kita bicarakan sebelumnya. Keduanya tak seturut aturan.
Ketika Anomali Hukum D-M Menjadi Penyelamat Perdana Menteri
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) telah mencetuskan bahwa bahasa Indonesia menganut hukum D-M.
Baik dalam kata majemuk maupun dalam kalimat, segala sesuatu yang menerangkan selalu terletak di belakang yang diterangkan. Begitulah wujud aturan yang disampaikan oleh STA.
Nah, aturan sudah “ditetapkan”. Namun, mengapa “pihak yang berwenang” membiarkan adanya penyelewengan?
Kasus perdana menteri dan polisi wanita menunjukkan tumpulnya “penegakan hukum” di Indonesia.
Jika mengikuti hukum D-M, bukankah istilah yang benar adalah wanita polisi dan menteri perdana? Kata wanita diterangkan oleh kata polisi, dan kata menteri diterangkan oleh kata perdana.
Seorang wanita yang berprofesi sebagai polisi layaknya mendapat sebutan wanita polisi. Sedangkan seseorang yang ditetapkan sebagai ketua dalam sebuah kabinet pantasnya disebut menteri perdana. Sebab, begitulah hukum D-M mengatur.
Nah, di sini kita akan menjumpai sebuah keistimewaan. Seperti halnya aturan-aturan yang lain, aturan ini pun memberi tempat bagi beberapa “penyimpangan”.
Menurut STA, terdapat empat jenis kata yang “diizinkan” tidak mengikuti hukum D-M, yakni:
1. kata bilangan seperti seekor, setiap, dan segala;
2. kata depan seperti di, dari, dan kepada;
3. kata keterangan seperti akan, sudah, dan sebenarnya;.
4. kata majemuk serapan dari bahasa asing yang mengikuti
aturan bahasa asalnya seperti perdana menteri, bumiputra, dan mikrobiologi.
Jadi, dalam kasus ini, anomali telah menyelamatkan Polwan dan perdana menteri. Seandainya tidak dimungkinkan adanya perkecualian terhadap hukum D-M, maka istilah polisi wanita dan perdana menteri tak akan kita temukan lagi.
Brimob Polri “Dilahirkan” oleh Hukum D-M
Ada satu kisah menarik seputar masa awal berlakunya hukum D-M dalam bahasa Indonesia. Sesaat setelah diberlakukan, ketentuan ini langsung memakan korban.
Konon, setelah hukum D-M diberlakukan, Presiden Soekarno langsung mengambil tindakan terhadap sebuah kesatuan elite di Kepolisian Republik Indonesia.
Mulanya, satuan ini mengambil nama Mobile Brigade yang disingkat menjadi Mobrig. Sebuah istilah yang “menyimpang” dari hukum yang baru diberlakukan saat itu.
Lantaran tidak mematuhi hukum D-M, nama Mobile Brigade harus enyah dari Polri. Sang Presiden minta sebutan ini diganti.
Silakan baca juga tulisan mengenai “bahasa aneh” yang bertebaran di mana-mana.
Maka, sejak itu kita mengenal sebuah satuan kerja di Kepolisian Republik Indonesia yang amat populer hingga kini. Ya, benar, unit itu lantas berganti nama menjadi Brigade Mobil yang beken dengan sebutan Brimob.
Nah, begitulah cerita mengenai salah satu kaidah yang berlaku dalam tata bahasa Indonesia. Hukum D-M dalam bahasa Indonesia memang unik dan berbeda dengan aturan yang dianut bahasa lain.
Post a Comment
Post a Comment