Ternyata, homonim adalah kata yang bisa menimbulkan berbagai “dampak buruk” dalam kehidupan manusia. Waduh, bagaimana hal itu bisa terjadi, ya?
Ada banyak cerita “kontroversial” mengenai homonim.
Kata-kata berhomonim acap menimbulkan kesalahpahaman. Bahkan, tak jarang,
homonim menjelma sebagai biang pertengkaran hingga memicu keributan.
Saya telah menghimpun beberapa situasi yang mungkin terjadi berkaitan dengan homonim. Saya akan menceritakan tiga di antaranya, yakni:
1. homonim menyebabkan para ahli berpisah;
2. homonim mengubah barang yang dititip menjadi sumber gosip;
3.
homonim mendorong seseorang menginjak-injak hak
orang lain sembari tertawa gembira.
Silakan baca juga ulasan tentang adarusa yang berwujud manusia.
Istilah homonim merupakan gabungan dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni homos dan onoma. Homos berarti sama, sedangkan onoma bermakna nama.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), homonim adalah kata yang sama lafal dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berbeda.
Sementara itu, kamus ini mendefinisikan homonimi sebagai hubungan antara dua kata yang ditulis dan/atau dilafalkan dengan cara sama, tetapi tidak mempunyai makna yang sama.
Arti Homonim dan Contoh Homonim
Situs milik Kantor Bahasa Banten pernah membahas istilah ini. Mengutip sebuah artikel di sana, arti homonim adalah dua kata atau lebih yang memiliki lafal dan ejaan sama, tetapi berbeda maknanya. Homonim terjadi karena beberapa kata dengan lafal dan ejaan yang sama itu berasal dari sumber yang berlainan.
Kita bisa mendapatkan banyak contoh homonim. Salah satu contoh “klasik” homonim yang acap kita temukan adalah kata bisa.
Setidaknya terdapat dua kondisi yang dapat diwakili oleh kata bisa. Pertama, ada kata bisa yang berarti mampu.
Homonim adalah kata yang bisa menyulut kericuhan. Nah, untuk menghemat waktu, saya memanfaatkan judul artikel ini sebagai contoh penggunaan kata bisa yang berarti mampu.
Sementara itu, ada kata bisa yang umumnya berkonotasi buruk. Dalam hal ini, bisa berarti ‘zat racun yang membahayakan tubuh’, atau ‘sesuatu yang abstrak dan dapat merusak akhlak manusia’.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyajikan sebuah contoh makna kata bisa yang kedua. “Ajaranmu itu akan menjadi bisa bagi kami.”
Kedua kata bisa dalam contoh di atas memiliki bentuk dan bunyi yang sama. Namun, kedua kalimat yang saya sajikan menunjukkan bahwa kata bisa yang terkandung di dalamnya mempunyai makna yang berbeda.
Contoh homonim yang lain adalah buku. Ada buku yang berarti ‘lembar kertas yg berjilid, berisi tulisan atau kosong’, ada pula buku yang bermakna ‘tempat pertemuan dua ruas, misalnya pada jari, buluh, dan tebu’.
Tentu banyak lagi contoh-contoh homonim yang lain.
Homonim Adalah Kata yang Telah Memisahkan Para Ahli
Homonim menjelma sebagai alasan yang mendorong para ahli berpisah. Anda penasaran dan ingin mengetahui kisahnya?
KBBI menyajikan dua kata ahli dengan makna yang berbeda. Kedua makna ini tidak saling berhubungan satu sama lain.
Makna kata ahli yang pertama adalah ‘orang yang mahir atau sangat paham dalam suatu ilmu atau pengetahuan’. Dalam kaitan dengan makna ini, kita acap menjumpai contohnya dalam frasa semacam ahli ilmu pengetahuan, ahli sejarah, atau ahli nujum.
Eh, jangan lupa satu contoh lagi. Ahli bahasa termasuk dalam kategori ini juga, ya.
Baca juga tulisan yang mengupas browser yang tak berhubungan dengan komputer.
Selain itu, ada kata ahli yang berarti ‘anggota, keluarga, kaum, atau orang-orang yang termasuk dalam suatu golongan tertentu’. Contoh frasa yang kerap kita temukan antara lain ahli famili, ahli waris, dan ahli kubur.
Saya pernah mengira bahwa ahli kubur adalah orang yang cekatan menggali tanah bakal makam. Eh, ternyata ahli kubur bukan tukang gali kubur, melainkan penghuni kubur.
Nah, benar, kan? Saya sempat keliru memahami makna sebuah frasa yang mengandung homonim.
Ahli membuat kubur memang berbeda dengan ahli kubur. Keberadaan kedua macam ahli itu dipisahkan oleh dunia yang berbeda.
Ketika Barang yang Dititip Berbuah Gosip
“Yuuur, sayuuuurrr!!!”
Jika Anda tinggal di sebuah kompleks perumahan, peluang Anda mendengar teriakan semacam itu cukup besar.
Lazimnya, lengking itu menggema di pagi hari, menjadi semacam undangan bagi ibu-ibu untuk ngerumpi bersama. Eh, maksud saya belanja.
Ada sebuah cerita seru berkaitan dengan lelaki yang gemar memekikkan kata-kata khas itu.
Seperti biasa, pagi itu, pada saat Bapak-Bapak mengelilingi meja rapat kantor, Ibu-Ibu mengitari gerobak sayur.
“Bu, titip salam, ya, buat Bu Joko," kata penjual sayur kepada Bu Agus.
Bukannya segera menerima titipan salam itu, Bu Agus malah berbisik-bisik kepada Bu Budi dan Bu Anto.
“Sssst, rupanya ada sesuatu antara Bu Joko sama Mas Sayur,” kata Bu Agus.
“Eh, iya, nggak nyangka!” Bu Anto menimpali, “Udah nggak malu-malu lagi Mas-nya!”
“Pantas aja kalau sudah dekat rumah Bu Joko, si Mas girang bukan kepalang!” ujar Bu Budi antusias. Wajahnya menyiratkan kebanggaan telah menyumbang informasi penting guna menyemarakkan diskusi dengan topik yang digandrungi warga kompleks itu.
“Kasihan, ya, Pak Joko!” ucap Bu Agus dan Bu Anto hampir bersamaan.
“Bu Agus, ini daun salamnya,” kata Mas Sayur tiba-tiba, “Kemarin Bu Joko minta dibawain satu ikat dan dititipin ke Bu Agus. Katanya, pagi ini Bu Joko pergi ke luar kota sama Pak Joko.”
Yah, penonton kecewa, deh. Kirain salam mesra, ternyata seikat daun salam.
Ada Orang Menginjak-Injak Hak Orang Lain Sembari Tertawa
Lisa telah menginjak-injak hak Rani. Kabar itu menyebar kencang ke seantero kampus.
Kampus tempat Lisa dan Rani menimba ilmu gempar dibuatnya. Pelbagai komentar berseliweran, baik di dunia nyata maupun di jagat maya.
Beberapa orang menghujat Rani yang telah berbuat sewenang-wenang. Sebagian lagi mempertanyakan, apa gerangan kesalahan yang telah dibuat oleh Rani hingga Lisa tega berbuat keji.
Ketika kehebohan di kampus hampir memasuki puncaknya, Rani membeberkan kronologi kasus “kekejian Lisa” di grup WhatsApp kampus. Begini curhatan Rani:
Beberapa waktu lalu, aku membeli sepasang sepatu baru. Lisa, teman kosku, kayaknya tertarik banget melihat sepatuku. Padahal sepatuku biasa aja dan nggak bermerek, lho.
Setelah kuserahin padanya, segera saja Lisa memakai sepatuku. Sambil ketawa-tawa gembira, ia mengentak-entakkan sepatu baruku ke lantai.
Tentu saja aku senyum-senyum menyaksikan tingkah Lisa yang kocak. Dasar anak sableng!
Eh, nggak taunya ada yang videoin kelakuan Lisa dengan tambahan narasi ‘Lisa nginjek-injek hak Rani’. Ya, bodo amat, hak sepatu diinjak-injak.
Silakan baca juga artikel yang membahas sebutan “tak lazim” bagi orang miskin.
Begitulah kisah yang dituturkan Rani kepada teman-temannya satu angkatan. Sontak, anggota grup menyambut cerita itu dengan berbagai ungkapan “kecewa” lantaran terbongkarnya hoaks yang sempat merebak di kampus mereka.
Homonim telah menimbulkan kekisruhan, homonim pula yang membereskannya.
Kata hak yang merupakan homonim mendorong seseorang memanfaatkannya untuk berkelakar dengan menyebar konten kejailan alias prank. Hak sepatu disamarkan seolah-olah sebagai hak asasi manusia.
Untung saja orang-orang segera menyadari bahwa ada hak yang bermakna ‘telapak sepatu pada bagian tumit yang relatif tinggi’, selain hak yang berarti ‘derajat atau martabat’. Seandainya hak bukan homonim dan martabat adalah satu-satunya makna kata itu, bisa saja mahasiswa seangkatan menggeruduk Lisa.
Nah, itulah beberapa “tragedi” yang melibatkan homonim. Ya, homonim adalah kata unik yang mampu bikin orang salah paham hingga berbuah keributan.
Post a Comment
Post a Comment