Orang menanggapi kenaikan harga barang dengan “bahasa” yang berbeda-beda. Kenapa, sih, urusan bilang harga naik aja repot amat?
Lebaran baru saja berlalu dari hadapan kita. Tentu banyak sekali kenangan, baik kenangan manis maupun yang kecut, yang bakal kita ingat pada hari-hari mendatang.
Apalagi Idulfitri tahun ini memang berbeda dibandingkan dua hari raya yang sama sebelumnya. Sepertinya berbagai perasaan berkecamuk dalam dada kita.
Silakan baca juga tulisan mengenai makna kata demam yang tak berhubungan dengan bidang kesehatan.
Pada satu sisi kita merasa senang bukan kepalang lantaran perayaan Idulfitri tahun ini diiringi melonggarnya berbagai batasan. Lebaran kali ini kita bisa kembali salat Ied berjemaah, kita berkesempatan mudik dan saling berkunjung, dan kita pun bisa menyambangi tempat-tempat indah guna melepas lelah.
Sementara itu pada sisi yang lain, barangkali rasa cemas masih menghantui akibat penyakit yang terus mengintai. Pandemi Covid-19 belum sepenuhnya melepas kita dari rasa takut, dan sudah muncul ancaman baru bernama hepatitis akut.
Harga Tiket yang Meroket
Selain beberapa kondisi di atas, saya mencatat kejadian berulang setiap Lebaran. Fenomena yang saya maksudkan adalah kenaikan harga tiket transportasi umum.
Disebabkan oleh jumlah permintaan yang jauh lebih banyak dibandingkan hari-hari biasa, harga tiket transportasi umum seperti bus, kereta api, dan pesawat terbang langsung naik. Orang-orang menanggapi kenaikan harga tiket perjalanan ini dengan pelbagai ungkapan.
Tingkat kenaikan yang biasa, dalam arti masih dalam batas psikologis manusia secara umum, masih bisa diterima dengan lapang dada (meskipun nggak lega-lega amat). Dalam hal ini, orang masih menggunakan istilah kenaikan yang menunjukkan peningkatan harga tidak bikin mereka terlonjak kaget.
Namun ketika tingkat kenaikan harga itu terlampau jauh dari batas toleransi, seketika orang mengubah istilah dengan sebutan yang lebih mewakili suara hati. Harga tiket pesawat udara dari Jakarta ke Banda Aceh yang mencapai Rp 9,6 juta (dibandingkan harga biasanya yang berkisar Rp 2,6 juta) tidak lagi tepat diwakili oleh kata naik.
Maskapai penerbangan menjelaskan bahwa melambungnya harga tiket tersebut bermula dari timpangnya permintaan dan penawaran menjelang Lebaran. Karena kursi reguler tak lagi bersisa, sistem mencarikan rute melalui transit yang melibatkan beberapa kelas penerbangan dari berbagai maskapai hingga muncul angka fantastis itu.
Meskipun demikian, tetap saja orang membandingkan harga umum dan harga yang dipersoalkan. Perbedaan harga dengan angka nyaris 270 persen-lah yang menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi kebanyakan manusia.
Kita tidak merasa keberatan ketika orang menyebut istilah melejit atau meroket untuk mengungkapkan keprihatinan mereka atas kenaikan harga yang “ugal-ugalan” itu. Bahkan, ketika ada orang yang menggunakan istilah yang lebih “mengerikan”, semacam mencekik leher, kita pun bakal menerimanya sebagai sebuah kewajaran.
Kata meroket, membubung, atau mencekik leher mungkin tidak dirasakan oleh orang-orang yang tidak akan menyadari saldo tabungannya berkurang seusai membeli beberapa lembar tiket tersebut. Sayangnya, jumlah penduduk yang masuk ke dalam golongan ini tak seberapa dibandingkan warga yang menjerit oleh kenaikan harga yang selangit.
Berbagai Istilah Kenaikan Harga Barang
Kondisi serupa terjadi sebelum Lebaran tiba. Masa-masa menjelang bulan puasa hingga tibanya hari raya merupakan era jamaknya kenaikan harga.
Pada masa ini harga barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari seperti daging, cabai, dan bahan-bahan dapur lainnya kerap mengalami lonjakan. Maka, tidak heran bila halaman-halaman berbagai media massa banyak dihiasi ungkapan-ungkapan seperti melonjak, membubung, dan meroket.
Kita juga pasti masih mengingat fenomena langka yang terjadi belum lama ini. Sebuah peristiwa tak lazim tentang kenaikan harga yang berdampak serius dengan cakupan yang amat luas.
Kenaikan harga minyak goreng beberapa waktu lalu telah menyebabkan keresahan dan kegaduhan massal. Bahkan peristiwa langka ini sempat merenggut jiwa manusia, dan juga menyeret pejabat menjadi tersangka.
Kejadian menyesakkan itu tentu saja mendorong istilah-istilah yang terkait dengan kenaikan harga kembali marak. Kala itu, hampir setiap hari ungkapan-ungkapan semacam membubung dan meroket berseliweran di halaman-halaman media massa.
Silakan baca juga tulisan mengenai “rusa” yang amat dihindari banyak orang.
Selain beberapa kata itu, ada satu lagi istilah lawas yang kembali mengemuka. Kosakata menyesuaikan yang legendaris itu kembali rajin menyapa kita.
Kita mengenal istilah menyesuaikan lantaran acap muncul dalam momen tertentu. Saya mengingat kosakata yang satu ini sebagai istilah yang sangat akrab dan acap “bergandeng mesra” dengan Bahan Bakar Minyak alias BBM.
Istilah ini memang selalu digunakan untuk menggantikan kata menaikkan ketika pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM. Konon, dalam urusan ini, kata menyesuaikan bakal terasa lebih adem ketimbang menaikkan.
Yah, kata-kata memang bermata dua. Mereka bisa menyejukkan atau sebaliknya memanaskan suasana.
Menggetok Harga Makanan
Selain istilah-istilah yang telah kita bahas, saya punya satu lagi simpanan ungkapan “ganjil” berkaitan dengan kenaikan harga. Istilah yang satu ini juga kerap nongol pada masa orang-orang bergembira pada hari raya.
Kegiatan utama yang dilakukan banyak orang pada hari Lebaran barangkali silaturahmi. Nah, sembari beranjangsana, banyak orang menyempatkan diri mencari hiburan dengan mengunjungi tempat-tempat wisata.
Di sekitar lokasi pelesiran, umumnya terdapat tempat-tempat untuk melepas lapar dan dahaga. Tak jarang tersebar berita kurang sedap dari tempat semacam ini.
Beberapa waktu lalu tersiar kabar tentang seorang penjual makanan yang menggetok pembelinya. Hah, kejam amat penjual itu, ya!
Kita mungkin akan membayangkan seseorang yang terhuyung dan kepalanya mengucurkan darah saat mendengar kabar tentang seseorang yang digetok. Bayangan semacam itu mungkin merujuk pada makna kata menggetok, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘memukul (pada bagian kepala)’.
Saat kelar membaca berita, ternyata kita tidak menemukan setetes pun darah mengalir karena memang tidak terjadi pemukulan dalam peristiwa ini. Tindakan menggetok yang seharusnya menimpa kepala, nyatanya berkaitan dengan harga makanan.
Seusai menelaah kabar itu, kita bisa mengetahui bahwa sang penjual menetapkan harga lebih mahal tanpa memberitahukan kepada pembeli sebelumnya. Jadi, mungkin pembeli merasa seakan-akan tergetok kepalanya lantaran harus mengeluarkan uang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang diperkirakannya.
Jadi, munculnya banyak istilah untuk menyatakan kenaikan harga tidak datang begitu saja. Ternyata banyak alasan yang melatarbelakangi kehadiran mereka.
Nah, sekarang kita tidak perlu heran jika menemukan kondisi demikian. Tentu juga kita tak perlu menggerutu, “Halah, naikin harga aja kok pakai macam-macam istilah!”
Istilah untuk menyatakan kenaikan harga barang memang bermacam-macam tergantung keadaan.
Post a Comment
Post a Comment