Takjil adalah sebuah kata yang diperlakukan orang secara tidak adil. Banyak orang menempatkannya pada posisi yang tidak semestinya.
Kata takjil tentu saja amat akrab di telinga kita sepanjang
bulan Ramadan. Banyak orang merindukan kehadirannya menjadi bagian dari ritual
ibadah puasa.
Berita-berita mengenai takjil tersebar di mana-mana. Sayangnya, kabar-kabar itu seringkali tidak benar, seperti kabar yang saya dengar beberapa waktu lalu.
Ketika itu, selepas Isya menjelang salat Tarawih di sebuah masjid, petugas masjid menyampaikan pelbagai pengumuman. Sebagian besar isi pengumuman yang disampaikannya biasa-biasa saja, semacam jumlah infak yang diterima pada hari sebelumnya, dan nama imam salat Tarawih dan Witir.
Namun, ada satu maklumat yang membikin saya sedikit terusik. Sang petugas menyampaikan informasi seperti ini, “Kami menyediakan takjil sebanyak 200 porsi setiap hari.”
Hah, sejak kapan takjil bisa dihitung dan diberi satuan porsi? Memangnya ia sejenis nasi padang atau kolak pisang?
Bukan itu saja. Ada hal penting di luar kejadian di masjid.
Sebagian besar tulisan yang tersebar di berbagai media massa pun serupa dengan wara-wara yang disuarakan petugas masjid. Pemahaman orang mengenai takjil sama saja di mana-mana.
Misalnya, sebuah situs berita menayangkan tulisan dengan judul “5 Resep Takjil Buka Puasa yang Cocok Disajikan di Masjid, Enak dan Simpel”. Tentu saja artikel itu dibubuhi ilustrasi menu berbuka puasa berupa penganan yang menggiurkan.
Mereka telah memperlakukan takjil secara tidak adil. Ia dianggap layaknya hidangan pembuka bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Sebagai kata kerja, ia acap diselewengkan menjadi kata benda.
Benarkah Takjil Adalah Makanan?
Kalau tidak percaya dengan ketidakadilan ini, lihatlah Kamus Besar Bahasa Indonesia alias KBBI.
Secara jelas, KBBI telah menyatakan bahwa takjil bukan jenis makanan atau minuman seperti yang dikatakan petugas masjid dan koran-koran. Ia merupakan suatu bentuk kegiatan sehingga diberi tanda “v” yang berarti jenis verba atau kata kerja.
Baca juga artikel yang membahas tentang meneladani guru yang keliru.
Makna takjil adalah mempercepat (dalam berbuka puasa). Jadi, takjil itu upaya yang dilakukan oleh manusia, bukan makanan yang disantap ketika waktu berbuka puasa tiba.
Seperti kita ketahui, kebanyakan istilah yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan dalam Islam berasal dari bahasa Arab. Mengingat hal itu, saya pun mengira bahwa kata ini berasal dari bahasa yang sama.
Uraian dalam sebuah artikel yang dimuat Tempo semakin meyakinkan saya. Menurut tulisan itu, asal kata takjil dari bahasa Arab ‘ajila yang berarti ‘menyegerakan’.
Nah, sudah jelas, kan, takjil artinya apa. Jangan salah lagi, ya.
Sebenarnya, Takjil Artinya Apa?
Keyakinan saya mengenai takjil itu apa, tak berlangsung lama. Beberapa waktu kemudian, saya terusik oleh rasa bimbang.
Saya membayangkan betapa mayoritas warga negara ini sepertinya hakulyakin bahwa wujud takjil adalah makanan. Bayangan itu lantas menggoyahkan keyakinan saya akan arti takjil yang sebenarnya.
Masa, sih, hampir semua orang, termasuk media massa yang sangat kredibel, terus-terusan keliru memaknai takjil. Rasanya tak mungkin Cuma saya seorang diri, dan beberapa gelintir orang lain, yang memberi makna berbeda terhadap kosakata ini.
Jangan-jangan saya salah membaca bausastra. Atau mungkin kamusnya yang kurang lengkap menyajikan data.
Tak hendak berlama-lama dalam kebimbangan, saya bergegas membuka gawai dan menelusuri internet. Rasa penasaran membawa saya mengunjungi KBBI daring.
Benar saja kekhawatiran yang saya rasakan. Ternyata, kamus online ini menyodorkan lebih banyak arti bagi lema takjil.
Ada dua makna kata takjil terpampang dalam kamus bahasa Indonesia versi daring ini.
Makna pertama telah saya kemukakan di muka. Tidak ada masalah dengan hal ini.
Sedangkan arti kata yang kedua, ya, seperti yang dipahami banyak orang dan diberitakan oleh media massa. Takjil adalah ‘makanan untuk berbuka puasa’.
Petugas masjid dan media massa benar. Saya baru menyadari kekeliruan saya.
Untung saja saya tidak memprotes sang petugas masjid ketika itu. Saya juga merasa lega tidak menulis surat pembaca.
Risiko Ketinggalan Informasi
Ada satu hal yang menggembirakan dengan kejadian ini. Kini terjawab sudah misteri yang menyelubungi takjil selama ini.
Kamus luring yang saya akses hanya mencantumkan satu makna yang menjelaskan kosakata takjil. Sementara itu, versi daringnya menyodorkan dua arti.
Baca juga tulisan tentang adarusa yang bikin orang salah sangka.
Sepertinya saya belum melakukan pembaruan terhadap perangkat KBBI offline versi 1.5.1 tersebut. Akibatnya, pengetahuan saya pun tertinggal oleh kencangnya laju informasi dewasa ini.
Saya menduga, makna kedua dimunculkan dalam kamus lantaran banyaknya manusia yang sempat “tersesat” memaknai kata ini secara tidak benar. Bersyukurlah wahai “orang-orang sesat”, KBBI telah menyelamatkan Anda.
Jadi, sekarang tak perlu sungkan menyatakan takjil sebagai makanan. Makna ini sudah diakui sebagai bagian dari bahasa Indonesia yang kita cintai.
Dulu, sebelum masuk KBBI, takjil adalah kosakata yang sempat diperlakukan secara “tidak adil”.
Post a Comment
Post a Comment