Keragaman penyebutan jenis kendaraan tertentu di pelbagai daerah di Indonesia bisa mendatangkan kelucuan atau bahkan kekonyolan.
Sekira seminggu lalu saya berkunjung ke kota Malang di Jawa Timur. Sepenggal peristiwa kocak tersaji di sebuah Pom Bensin di Kota Apel itu.
Ketika itu saya sedang antre menunggu giliran mengisi bahan bakar mobil. Mendadak seorang petugas SPBU berteriak, “Jalur sepeda sebelah sana, Pak!”
Sepeda? Memang ada sepeda yang mau ngisi bensin?
Setelah menoleh ke arah orang yang dituju oleh si petugas, saya melihat seorang lelaki mengendarai sepeda motor. Pada lokasi yang dituju oleh telunjuk petugas itu juga terdapat sejumlah sepeda motor yang tengah antre.
Anda tentu telah mengenal baik binatang bernama rusa, tetapi bagaimana dengan ‘adarusa’?
Dari keadaan yang saya dengar dan saksikan, saya mengambil kesimpulan bahwa penduduk kota ini menyebut sepeda motor secara tidak lengkap.
Sebetulnya kebiasaan mereka serupa dengan kami penduduk Jawa Tengah. Hanya saja, kami memilih bagian belakang frasa itu, sedangkan orang Malang, atau mungkin semua warga Jawa Timur, mengambil bagian depannya.
Saya merasa lebih tenang menamai kendaraan itu dengan sebutan ‘motor’ karena KBBI telah menampung kata itu meskipun ditandai sebagai bentuk cakapan alias ragam takbaku.
Lain Malang Lain Siantar
Kisah tentang “sepeda hendak diisi bensin” mengingatkan saya kepada cerita lain berkenaan dengan sarana transportasi.
Sebuah cerita yang menggelikan terjadi saat saya berstatus mahasiswa. Kala itu saya sedang menjalani masa kuliah di kota Yogyakarta.
Karena saya merupakan pendatang di kota Gudeg itu, saya indekos di sana. Dalam rumah kos yang saya tinggali terdapat sejumlah mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah dengan bahasa ibu yang berbeda-beda.
Saat itu, saya merasakan logat-logat yang diucapkan oleh teman-teman kos dari etnis lain menjadi “hiburan” tersendiri bagi saya. Maklum, sebelum memasuki dunia kampus, saya ngendon di sebuah kampung di tanah Jawa dan nyaris tak pernah bergaul secara dekat dengan orang dari suku dan etnis lain.
Ternyata, ada beberapa makna kata layap yang jarang digunakan.
Berkenaan dengan penyebutan istilah bagi kendaraan, ada seorang kawan saya yang berasal dari Pematang Siantar membawa cerita kocak. Eh, maksud saya bukan teman saya itu yang menceritakan kisah lucu, melainkan penggunaan istilah dalam bahasa yang biasa digunakan sehari-hari di daerah asalnya yang menimbulkan kelucuan.
Suatu ketika ia hendak berangkat ke kampusnya. Tidak seperti biasanya yang selalu semringah, kali itu ia tampak rada gusar.
Seorang teman menanyakan apa gerangan yang membikin mukanya tak enak dilihat. Dengan suara khasnya yang selalu kencang, ia mengabarkan kebingungannya lantaran hendak pergi kuliah tapi keretanya tidak ada.
Kereta Tanpa Rel
Bukan hanya teman saya yang mengajukan pertanyaan yang dibuat ganar oleh jawaban yang dilontarkannya. Saya yang kebetulan sedang duduk-duduk di teras bersama kedua rekan saya itu juga ikut-ikutan dilanda kebingungan.
Sepertinya benak teman saya memikirkan hal serupa dengan pertanyaan yang hinggap di pikiran saya. Memangnya teman dari Sumut itu mau kuliah di mana sih, hingga harus naik kereta segala.
Maka, seakan-akan mewakili saya juga, teman saya kembali melontarkan pertanyaan keduanya. Mendengar pertanyaan itu, giliran teman beretnis Batak itu yang tampak terlongong-longong.
“Apa maksud kau bertanya seperti itu, Kawan? Aku mau pergi kuliah ke tempat biasa.”
“Lha, kok, ndadak naik kereta, to? Kampusmu kan dekat, bisa naik bus kota atau jalan kaki.” Teman saya yang berasal dari Klaten menyampaikan keheranannya.
“Malas kali aku naik bus, apalagi jalan kaki,” jawab teman Sumatra Utara itu, “Sudah terbiasa naik kereta juga soalnya.”
“Terbiasa naik kereta? Kamu kan biasanya ke kampus naik motor!” Si Klaten masih belum terbebas dari rasa penasaran. Begitu pun dengan diri saya.
Perdebatan terus berlanjut sekian lama hingga pada leher masing-masing teman-teman saya itu nampak tersembul urat-urat mereka.
Setelah kami mampu mendinginkan kepala, baru terungkap persoalan yang sebenarnya. Keributan itu bermula dari adanya perbedaan bahasa khususnya dalam penyebutan jenis kendaraan yang menjadi pokok pembicaraan kami.
Mendengar kata ‘kereta’ disebut-sebut, teman Klaten kami, dan saya, langsung membayangkan wujud kendaraan yang bersambung-sambung menjadi sangat panjang dan berjalan di atas rel. Sementara itu, rekan Batak kami mengatakan ‘kereta’ untuk menyebut jenis kendaraan semacam sepeda yang dijalankan dengan mesin alias motor.
Suara tawa ngakak kami bertiga menjadi penutup perdebatan seru pagi itu. Teman yang tadinya uring-uringan lantaran rekan sedaerah yang meminjam sepeda motornya belum juga mengembalikannya, akhirnya bisa terbahak-bahak sejenak, meskipun kemudian manyun lagi karena harus pergi ke kampus dengan berjalan kaki.
Mobil Bukan Jenis Kendaraan?
Kisah kedua saya alami sewaktu saya ditugaskan oleh perusahaan tempat saya mencari nafkah di ibu kota Kalimantan Selatan. Masyarakat di kota Seribu Sungai itu memiliki istilah yang berbeda dengan masyarakat di daerah-daerah lainnya untuk menyebut suatu jenis kendaraan yang banyak berseliweran di sana.
Sebenarnya kendaraan khas masyarakat Banjarmasin dan Kalimantan Selatan pada umumnya yang tidak banyak kita temui di daerah-daerah lain adalah jukung. Maklum, seperti sebutan bagi kotanya, di daerah ini memang banyak terdapat sungai sehingga perahu menjadi salah satu alat transportasi dan atraksi wisata andalan masyarakat Kalimantan Selatan.
Namun yang akan menjadi bahasan kali ini bukan perahu. Ada sebuah jenis kendaraan lain yang sempat membuat saya bingung karena tidak terbiasa dengan sebutan yang digunakan warga Banua.
Anda mengenal daria? Jika tidak, simaklah paparan tentangnya.
Suatu saat saya berbelanja ke sebuah pasar swalayan yang cukup besar. Saya memang kerap membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari di tempat ini.
Singkat cerita, selesai sudah saya mengumpulkan barang-barang yang saya butuhkan mungkin untuk dua minggu ke depan.
Lantas saya beranjak ke depan kasir, menunggunya memeriksa barang-barang, dan melakukan pembayaran. Hingga tahap ini, proses belanja berjalan lancar.
Kemudian tiba saatnya saya harus mengangkut barang-barang belanjaan ke mobil yang terparkir di halaman depan pasar swalayan itu. Kasir yang tadi melayani saya memanggil rekannya sesama pegawai toko itu dan memintanya untuk mambantu saya mengangkut belanjaan.
Lelaki muda rekan kerja kasir itu lantas bertanya, apakah saya naik mobil atau naik kendaraan.
Saya terperanjat. Rasanya pertanyaan yang diajukannya ganjil sekali.
Naik mobil atau kendaraan? Memangnya mobil itu jenis binatang atau apa, sih? Bukankah ia termasuk golongan kendaraan juga?
Lain Daerah Lain Sebutan Kendaraannya
Karena saya tak ingin berlama-lama di sana, saya gunakan saja jari telunjuk sebagai bahasa yang dipahami hampir seluruh penduduk bumi. Saat itu keinginan untuk segera tiba di rumah mengalahkan rasa penasaran saya soal ‘kendaraan’ yang disebut-sebut oleh pegawai supermarket.
Melalui film pendek yang pernah viral ini, bahasa daerah bisa menjadi sumber pengembangan bahasa Indonesia yang potensial.
Pada akhirnya, misteri tentang kendaraan terpecahkan beberapa hari kemudian. Saya mendapatkan informasi dari rekan-rekan saya bahwa masyarakat Banjarmasin biasa menggunakan istilah ‘kendaraan’ untuk menyebut sepeda motor.
Jadi, mobil bukan bagian dari kendaraan, ya? Ah, sudahlah.
Namanya juga sedang berada di ladang yang berbeda. Tentunya yang berseliweran di atas kepala belalang yang berbeda pula.
Post a Comment
Post a Comment