Debat capres cawapres 2024 adalah acara televisi yang kini ditunggu banyak pemirsa. Peluang bagus ini tentu saja tak disia-siakan oleh media.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), debat adalah pembahasan
dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk
mempertahankan pendapat masing-masing.
Makna debat yang dilontarkan KBBI terkesan bernada positif. Sungguh berbeda dengan kesan kita saat mendengar salah satu sinonimnya, bantah, disebut. Sangat terasa “aroma” negatif menguar dari kata bantah tersebut.
Nah, istilah bantah pun kerap hilir mudik di layar kaca. Sejumlah acara yang diusung menampilkan orang-orang berbantah-bantahan.
Perbantahan tak lepas dari adanya perseteruan antar manusia atau kelompok manusia. Perseteruan ini bisa terjadi lantaran adanya perbedaan kepentingan di antara dua pihak.
Berbantah-bantah antara pihak terlapor dan pihak yang melaporkan dalam kasus pelecehan di KPI bisa menjadi salah satu contoh. Pihak terlapor membantah laporan si pelapor, dan pelapor membantah balik bantahan terlapor.
Dalam kasus-kasus hukum lainnya hampir tak dapat dielakkan terjadinya perbantahan antara pihak tersangka dengan korban. Masyarakat umum yang menyaksikan jalannya bantah-bantahan pun tak luput dari emosi, kemudian turut berbantah-bantah di antara mereka.
Selain permasalahan yang berkaitan dengan hukum, aktivitas berbantah-bantah juga rutin menyambangi televisi dan tayangan-tayang video lainnya seperti siniar (podcast) yang masyhur belakangan ini. Pengelola siaran televisi misalnya, sepertinya sengaja mengundang beberapa pihak yang diperkirakan bakal menampilkan perbantahan yang seru saat dipertemukan dalam satu panggung.
Maka, seiring dengan maraknya acara-acara semacam itu, kita kerap menemukan kata membantah dalam berita-berita yang dimuat media massa. Barangkali kita pun gemar menyaksikan acara perbantahan yang memang sengaja dimunculkan dalam siaran televisi.
Bosan Berbantah? Balah dan Sawala Bisa Menggantikannya
Saya tertarik dengan kata membantah yang berasal dari kata dasar bantah ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan tiga kata sebagai makna kata bantah. Ketiganya adalah lawan, sangkal dan tengkar.
Pencarian makna dari ketiga arti kata bantah itu memunculkan beberapa kata lain yang semakna, seperti sanggah dan tentang. Kemudian, dari Kamus Tesaurus bahasa Indonesia (Tesamoko), saya menemukan banyak lagi kata-kata yang bermakna serupa dengan kata bantah.
Selain itu, ada lagi sebuah sinonim yang sedap terdengar di telinga. Sawala adalah kata yang sedap di telinga. Kata indah yang berasal dari bahasa Jawa Kuno itu memiliki makna ‘pertengkaran’.
Di antara sejumlah kata yang berkaitan dengan kata bantah, saya menaruh perhatian pada sebuah kata yang hampir tidak pernah saya temukan dalam percakapan atau pemberitaan media. Kata yang saya maksudkan adalah balah.
“Penemuan” kata ini mirip dengan pertemuan saya dengan kata rudin. Mereka berdua adalah bagian nadir dari bahasa Indonesia.
Saya hanya pernah membaca tulisan yang mengandung kata yang satu ini pada buku yang ditulis oleh sang penyusun Tesamoko, Eko Endarmoko. Buku berjudul Polisi Bahasa itu memuat “kosakata langka” ini di halaman 119.
“Perbalahan yang sudah lama selesai dan tenggelam itu tempo hari bangkit lagi.” Itulah sepenggal kalimat yang terdapat dalam bab “Bumi Datar dan Dunia Persilatan”.
Selain di buku yang telah saya sebutkan di atas, Anda juga bisa bersua dengan artikel ini di tautan ini.
Nah, bagaimana pengalaman Anda? Pernahkah Anda menjumpai kata ini dalam kehidupan yang telah Anda jalani?
Balaah dan Sawala Adalah Kosakata nan "Merana"
Ketika saya mencoba menelusuri kata balah dalam mesin pencari Google, saya tidak mendapatkan banyak hasil seperti yang saya harapkan. Si Mbah malahan menyodorkan lebih banyak alternatif kata kunci belah ketimbang kata yang saya maksudkan. Ini mah, jauh panggang dari api.
Dari sini saya semakin yakin untuk menyimpulkan bahwa kata ini sangat tidak populer di negerinya sendiri. Barangkali ia tengah meratapi kelahirannya di dunia yang tak dianggap oleh kebanyakan manusia.
Dalam dunia nyata saya telah merasakan secara langsung kelangkaannya. Sedangkan di jagat maya, si mesin pencari yang terkenal digdaya pun tak memiliki banyak persediaan kata kunci dengan kata balah terkandung di dalamnya.
Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi pada kata sawala.
Google tak begitu mengenal istilah ini lantaran tak banyak orang menelusurinya.
Kerap timbul rasa sayang dalam hati ketika saya mendapati sebuah kosakata yang telah “lelah-lelah dibuat”, lalu tidak digunakan sama sekali. Apalagi istilah yang terasa indah semacam kata balah atau sawala.
Dalam tulisan saya sebelumnya mengenai penggunaan kosakata langka, saya telah mengungkapkan manfaat kosakata yang jarang digunakan orang. Saya akan merasakan kepuasan tersendiri tatkala bisa “mengorbitkan” kata-kata yang jarang mengemuka melalui tulisan-tulisan saya.
Tidak berbeda juga saat saya menemukan kata balah. Wah, kita patut menyesal bila sebuah kata seelok—soal elok tidaknya kata ini mungkin bersifat subjektif--ini dibiarkan terkungkung dan merana dalam sejilid bausastra.
Kemudian tebersit tekad untuk melakukan sesuatu terhadap si malang balah dan sawala. Apalagi kalau tidak mencatat kata ini dalam hati dan memasukkannya ke dalam daftar “kosakata aneh” yang saya miliki.
Lantas, kelak saya akan berusaha menampilkannya dalam tulisan-tulisan saya. Saya telah memulainya dengan membahas “kemalangan” balah dan sawala melalui artikel ini.
Semoga saja keduanya tidak lagi merasa kesepian setelah sekian lama “ditinggal rekan-rekannya” seperti bantah, sangkal, dan tengkar mengembara di belantara media di negeri kita. Mudah-mudahan mereka akan bangkit dan turut meramaikan dunia literasi di negeri yang kita cintai.
Anda berkenan ikut mempromosikan kata balah dan sawala sebagai alternatif kata bantah? Bukankah balah dan sawala adalah kata-kata yang indah?
Post a Comment
Post a Comment