Porter adalah sebutan bagi pengangkut barang di bandara, stasiun kereta api, atau hotel. Mengapa pengangkut barang di pasar tidak menyandang "predikat" porter?
Saat Anda bepergian menggunakan sarana pesawat terbang, kemungkinan besar Anda akan berpapasan dengan orang-orang yang mengenakan seragam tertentu, misalnya berwarna oranye atau biru. Di bagian depan atau belakang baju seragam itu, biasanya tersemat tulisan atau logo khusus yang menunjukkan profesi mereka.
Senjata utama yang mereka andalkan tiada lain troli alias kereta dorong untuk mengangkut barang. Selain di lokasi pengambilan bagasi, mereka juga acap terlihat di teras keberangkatan bandara.
Target pasar yang mereka incar utamanya para penumpang yang menuju tempat pengambilan bagasi. Mereka akan minta lembaran kertas kecil bukti pemilikan barang yang sepanjang perjalanan tersimpan rapi dalam bagasi pesawat udara.
Lain lagi aksi porter-porter yang “berkeliaran” di sekitar pintu keberangkatan. Mereka menyasar setiap orang yang turun dari mobil yang baru diparkir, terutama yang mereka lihat menurunkan banyak barang bawaan. Orang-orang itu akan menawarkan jasa mereka kepada para calon penumpang yang hendak "mengudara".
Itulah aktivitas rutin yang dilakukan para porter bandara.
Mengapa Ada Porter Bandara Tetapi Tidak Ada Porter Pasar?
Begitulah lalu-lintas salah satu sisi kehidupan modern di bandar udara.
Sekarang kita beralih ke “dunia becek” tempat orang-orang tradisional berjual beli barang. Ya, tak salah lagi, pasar tradisional.
Jika berkunjung ke tempat ini, kita juga bisa menyaksikan sepak terjang orang-orang dengan pekerjaan seiras dengan yang kita temui di bandara. Namun demikian, meskipun menyandang profesi yang serupa, banyak terdapat perbedaan di antara mereka.
Perbedaan yang lekas terlihat mata adalah penampilan. Tidak seperti kolega mereka yang mengais rezeki di bandara atau stasiun kereta, orang-orang di pasar rakyat hampir tidak pernah mengenakan pakaian seragam.
Seragam baru satpam menjadi viral. Adakah yang peduli dengan sebutan security?
Begini profil kebanyakan “porter” yang sering saya lihat di pasar tradisional. Ibu-ibu dengan pakaian sederhana, umumnya kebaya yang sudah lusuh, dengan sebuah bakul anyaman bambu terlilit kain selendang bertengger di punggung mereka. Sepertinya warna asli busana yang mereka kenakan telah lama pergi entah ke mana.
Sebagian besar di antara mereka, setidaknya yang pernah saya saksikan secara langsung maupun melalui media massa, berusia di atas paruh baya. Ataukah penampilan fisik mereka terlihat lebih tua dibandingkan dengan usia biologis mereka?
Fenomena Istilah di Dunia Modern dan Tradisional
Sempat timbul rasa heran di benak saya mendapati pembedaan istilah berdasarkan lokasi untuk jenis pekerjaan yang sama. Sepertinya fenomena pemisahan istilah antara dunia modern dan tradisional terjadi di pelbagai bidang.
Saya pernah menuliskan fenomena yang sama terjadi pada dunia bisnis. Pada bidang ini orang cenderung membedakan istilah-istilah antara dunia modern dan tradisional. Misalnya saja pembedaan sebutan antara member pasar swalayan dan anggota koperasi, serta antara owner perusahaan besar dengan pemilik usaha kecil.
Yang jelas tatkala Anda mengetik kata “porter” pada mesin pencari, Anda tak akan menemukan berita, gambar atau video simbok-simbok yang sedang menggendong barang belanjaan di pasar tradisional. Istilah itu seakan-akan telah menjadi “hak milik” para pendorong troli bermuatan koper di bandara, stasiun kereta api, atau hotel.
Porter Adalah Istilah Asing yang Telah Diterima sebagai “Warga” KBBI
Jadi, porter adalah orang yang dipekerjakan untuk mengangkut barang milik pelanggan hotel atau penumpang di terminal transportasi umum.
Sementara itu, Google Translate menerjemahkan kata porter dalam bahasa Inggris tetap sebagai porter dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, mesin penerjemah daring itu memunculkan kata porters dalam bahasa Inggris ketika saya minta terjemahan istilah kuli panggul.
Mungkin di dunia barat tidak ada kuli panggul sehingga orang-orang di negara asal bahasa internasional itu hanya mengenal kata porter. Atau mereka memang tidak membedakan kedua istilah itu?
Awas, "pasukan asing" menyerbu Bagian Personalia!
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) telah tercantum istilah porter. Ada dua makna kata porter yang disodorkan oleh kamus besar ini.
Asal Mula Sebutan Kuli Panggul Pasar
Saya tidak mengerti mengapa KBBI tidak memasukkan pasar sebagai contoh tempat para pramuantar mencari nafkah. Apakah hal itu merupakan kebetulan saja, atau memang pasar bukan tempat yang pantas bagi profesi pramuantar atau pramubarang atau yang lebih populer dengan sebutan porter?
Karena tidak ada istilah khusus yang mengarah kepada para penggendong barang belanjaan di pasar tradisional, orang-orang umumnya menandai mereka dengan sebutan kuli panggul pasar. KBBI memberi makna kuli panggul sebagai buruh kasar yang menerima upah dari jasa memanggul barang.
Infografik perbedaan porter bandara, porter kereta api, porter hotel, dan kuli panggul pasar tradisional. Sumber data: kbbi. kemdikbud.go.id.
Barangkali para pria yang awalnya meniti karier ini dengan cara memanggul barang di bahu mereka hingga mereka digelari kuli panggul. Kaum perempuan yang datang belakangan mengikuti sebutan yang identik dengan laki-laki ini, meskipun ada juga yang menyebut mereka kuli gendong atau buruh gendong.
Istilah Dalam Negeri yang Kurang Percaya Diri
Ada satu hal yang patut kita sayangkan. "Pihak berwenang" telah menetapkan istilah pramuantar dan pramubarang untuk menyebut profesi yang kita bicarakan, tetapi keduanya hampir tak pernah muncul ke permukaan.
Kedua kosakata itu seakan-akan tidak memiliki rasa percaya diri. Mereka tampak segan unjuk gigi dan lebih suka “mengurung diri”.
Sepertinya, orang-orang masih akan terus mencari porter bandara, porter kereta api, dan porter hotel alih-alih pramuantar atau pramubarang. Tak bisa dimungkiri, porter adalah sebutan yang lebih diakrabi banyak orang ketimbang pramuantar dan pramubarang.
Post a Comment
Post a Comment