Benarkah kartu member adalah instrumen yang mengindikasikan adanya diskriminasi penggunaan kata? Di mana letak diskriminasinya?
“Ada Kartu Member-nya, Pak?” Hampir tiap kali saya hendak membayar belanjaan, kasir Anu Mart menanyakan perihal kartu member itu.
Terakhir kali terjadi beberapa hari yang lalu. Seorang kasir kembali melakukannya kepada saya. Saya yakin, ia melakukannya juga kepada semua orang yang datang.
Ia laksana menyetel kaset yang selalu diputar ulang setiap ada konsumen berdiri di hadapannya. Ketika itu, saya menyorongkan sebungkus kopi bubuk dan seplastik butiran coklat kepadanya.
Sudah tentu saya menjawab “tidak” untuk pertanyaan si kasir. Masa sih, ada yang namanya kartu member? Kalau member card mungkin ada. Atau kartu anggota, mestinya banyak.
Eh, nggak mungkin juga kali. Kartu anggota dibikin hanya untuk anggota Koperasi. Atau jenis-jenis usaha dan organisasi tradisional lainnya.
Sementara itu, bagi pelanggan setia Ini Mart, Itu Mart dan Mart-Mart yang lain, tentu berbeda kartunya. Mereka layak mendapatkan kartu member.
Silakan baca juga tulisan mengenai makna pedestrian yang senasib dengan busway.
Aduh, kok malah jadi ngelantur.
Saya menjawab “tidak” karena saya memang tidak memiliki kartu yang dimaksudkan oleh si kasir. Sejak sebelum tiba di depan kasir pun, saya sudah menduga bakal mengucapkan kata itu.
Sepertinya antara kasir macam-macam Mart dan para konsumen mereka telah sama-sama menyiapkan “rekaman” ucapan masing-masing ketika saling berhadapan.
Bolehkah Anggota Koperasi Punya Kartu Member ?
Kalau sudah begini, saya langsung teringat kepada seorang mantan teman sekantor saya. Beberapa tahun silam, ia pernah menawari saya menjadi anggota koperasi karyawan.
Ia mengiming-imingi saya dengan salah satu sisi bisnis Koperasi yang diberi nama Sisa Hasil Usaha alias SHU. Keuntungan Koperasi yang disebut SHU itu akan dibagikan kepada seluruh anggota setiap tahun sesuai dengan tingkat kontribusi masing-masing anggota.
Saya pikir asyik juga tiap tahun menerima SHU. Bisa menambah uang saku. Selain itu, menjadi anggota Koperasi juga bisa turut berpartisipasi membangun saka guru perekonomian Indonesia.
Namun letak permasalahannya bukan di situ. Boleh nggak sih, pada kartu anggota Koperasi dicantumkan judul “Kartu Member”?
Biar elegan dikit lah! Tidak kalah dengan kartu member Mart-Mart yang keren-keren itu.
Memangnya Koperasi tidak cukup bergengsi sehingga para anggotanya tidak pantas mendapat gelar member? Apakah terdapat aturan yang menyebutkan bahwa predikat member hanya boleh disematkan bagi pelanggan Ini Mart dan Itu Mart?
Padahal dalam kamus jelas-jelas disebutkan bahwa kata member diterjemahkan sebagai anggota. Saya juga tidak menemukan adanya ketentuan yang mengatur penggunaan sebutan anggota atau member mengikuti bentuk usaha yang dijalankan.
Mengapa seolah-olah ada keistimewaan suatu bentuk usaha tertentu yang bisa menggunakan sebutan member bagi anggota-anggotanya? Sedangkan bentuk usaha lain hanya bisa memakai istilah anggota untuk menyebut para member-nya?
"Diskriminasi" Terjadi Juga pada Sisi Pemilik Usaha
Keheranan saya terkait dengan penyebutan istilah-istilah dalam dunia usaha melebar ke sisi pemilik usaha. Pada sisi ini juga terdapat “diskriminasi” penggunaan istilah-istilah tertentu.
Pernah dengar nggak, orang menyebut pemilik warung kopi dengan sebutan owner? Halah, ada-ada saja.
Pemilik warung kopi atau warung burjo ya namanya tukang warung. Gitu aja kok repot!
Yang saya maksud pemilik warung kopi atau warung burjo tentu saja orang-orang yang membuka lapak di pinggir jalan atau di teras rumah mereka.
Lain cerita kalau warungnya berada di lingkungan hotel atau pusat perbelanjaan modern. Lagi pula, yang berada di tempat-tempat modern tentu bukan warung namanya.
Sebutan owner sepertinya hanya pantas disandang pemilik usaha besar dan tentu saja usaha yang beraroma modern. Seperti para owner startup-startup itu lho. Atau usaha-usaha yang onlen-onlen gitu.
Silakan baca juga artikel yang membahas mula kata developer banyak digunakan dalam bahasa Indonesia.
Lagi-lagi saya tergerak untuk membuka kamus. Dalam Kamus Lengkap bahasa Inggris – bahasa Indonesia, kata owner diterjemahkan sebagai pemilik.
Hanya pemilik,
tidak ada embel-embel atau aturan penggunaan lainnya. Siapa saja dan organisasi
jenis apa saja boleh menyematkan istilah ini pada diri mereka.
Sementara itu, ketika saya membuka-buka halaman-halaman KBBI, saya tak berhasil menemukan kata ini.
Saat saya memaksakan diri mengetik owner dalam baris pencarian, KBBI Daring kembali memberikan peringatan berupa simbol dan tulisan berwarna merah seperti ketika saya mencari kata member.
Bermimpi Menjadi Owner Suatu Usaha (dan Bikin Kartu Member bagi Pelanggan)
Saya hanya merasa heran, mengapa banyak orang seperti sengaja membedakan penyebutan istilah-istilah seperti itu. Asal-usulnya dari mana? Terus, alasannya apa?
Bukankah Badan Bahasa, bagian dari instansi pemerintah yang bertugas mengelola bahasa Indonesia di negeri ini, telah menyodorkan padanannya? Kalau bukan kita yang menggunakan kosakata dalam bahasa kita sendiri, lantas siapa lagi?
Rasanya saya perlu berterima kasih kepada koperasi dan usaha-usaha kecil lainnya. Keberadaan mereka telah mengurangi kekhawatiran saya akan semakin minimnya pengunaan kata-kata semacam anggota dan pemilik.
Kita
telah menyaksikan banyak istilah-istilah lainnya berangsur-angsur menjadi
kosakata langka.
Mendadak saya jadi pengen bikin usaha, nih. Bisnis yang modern tentunya.
Impian saya sederhana saja. Biar mendapat sebutan keren sebagai owner, dan bisa bikin kartu member bagi para pelanggan.
Post a Comment
Post a Comment